RSS

Jumat, 27 November 2009

Smiling Gate

Keemasan Raja Yang Tersisa

Guratan sejarah sebuah kejayaan yang tersisa di ujung Timur Pulau Garam.

Bak potret raksasa dalam sebuah bingkai histori. Bangunan megah berdiri dengan nuansa yang khas menyiratkan peninggalan masa silam. Berdiri di kawasan seluas 12 hektar, di tengahnya terdapat Pendopo Agung dengan ornamen khas berlatar bangunan tua yang tak kalah gagah memancarkan kharisma.

Sebatang pohon Beringin besar berdiri di samping kirinya, menambah kokoh dan sakral nuansa yang terpancar dari warisan para raja yang dulu pernah berkuasa. Walau kini Keraton Sumenep tidak lagi dihuni seorang raja beserta keluarga dan para abdinya. Namun bangunan yang berumur lebih dari 200 tahun itu tetap terjaga.

Sumenep setelah berubah secara birokrasi dan mulai dipimpin oleh seorang bupati setelah masa raja Panembahan Notokusumo II (1854-1879) menganggap warisan sisa masa keemasan itu sebagai sebuah kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.

Bangunan-bangunan di kawasan keraton sudah tidak ditempati lagi. Kecuali pada bagian belakang, menghadap ke Utara, yang kemudian dibangun rumah dinas bupati, berlawanan dengan keraton. Sementara pendopo kini kerap difungsikan untuk acara rapat-rapat para aparat pemerintahan, hingga pagelaran seni dan budaya setempat.

Bangunan fisik Keraton Sumenep terbilang masih asli. Hanya bagian lantai yang telah dirubah karena rusak. Semula berlantai marmer kini keramik. Terhadap bangunan keraton sendiri yang usianya lebih dari dua abad pernah dilakukan perbaikan namun hanya pada bagian gentingnya.

Selain itu pengecatan tetap dilakukan pada bagian dinding agar tetap kelihatan cerah. Bangunan utama keraton terdiri dari dua lantai. “Lantai atas merupakan tempat para putri raja yang dipingit selama 40 hari sebelum datangnya hari pernikahan,” papar Moh. Romli, penanggung jawab Museum Keraton Sumenep.

Menurut pria 40 tahun ini, bangunan kediaman raja yang terletak di lantai bawah terdapat empat kamar yang masing-masing diperuntukkan untuk kamar pribadi raja, kamar permaisuri, kamar orang tua pria dan orang tua perempuan raja. Secara umum gaya arsitektural Keraton Sumenep merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Eropa, Arab, dan China.

Gaya Eropa tampak pada pilar-pilar dan lekuk ornamennya. Sedangkan gaya China bisa dilihat pada ukiran-ukiran yang menghiasi. Detil ukiran bergambar Burung Hong, yang konon merupakan lambang kemegahan yang disakralkan oleh bangsa China. Ada pula Naga yang melambangkan keperkasaan, beberapa bergambar bunga Delima yang melambangkan kesuburan. Demikian pula pada pilihan warna Merah dan Hijau. Salah seorang arsitek pembangunan keraton bernama Lauw Piango, yang setelah meninggal di kebumikan di sekitar Asta Tinggi (komplek makam raja Sumenep dan keturunannya) adalah pria berkebangsaan China.

Bahkan konon yang mengepalai tukang saat pembangunan keraton adalah orang China, bernama Ka Seng An. Nama itu kemudian dijadikan nama desa dimana dia dulunya tinggal, menjadi desa Kasengan. Dalam sejarah Sumenep disebutkan keraton tempat kediaman raja sempat berpindah-pindah.

Konon pada masa awal yang dipimpin oleh Raja Aria Wiraraja, yang berasal dari Singosari, keraton Sumenep berada di Desa Banasare, Kecamatan Rubaru. lalu keraton juga pernah pindah ke daerah Dungkek pada masa raja Jokotole (1415-1460). Beberapa daerah lain juga diindikasi sebagai keraton Sumenep, seperti Tanjung, Keles, Bukabu, Baragung, Kepanjin dan daerah lain sebelum akhirnya menempati lokasi keraton yang masih tersisa sekarang.

Di Desa Pajagalan yang merupakan warisan sejak raja, yaitu Panembahan Somala dan enam raja berikutnya.

Panembahan Somala berinisiatif membangun katemenggungan atau kadipaten ini setelah selesai perang dengan Blambangan, pada tahun 1198 hijriyah. Keraton itu selesai pada tahun 1200 hijriyah atau 1780 masehi. Batas-batas keraton pada jaman dahulu meliputi, sisi Timur adalah Taman Lake’, ini menurut Romli, masih merupakan anak sumber air dari Taman Sare yang berada di sekitar keraton. Sayang, tempat ini sekarang sudah ditutup karena difungsikan sebagai sumber air PDAM Sumenep. Sebelah Utara hingga monumen tembok keraton yang ada di jalan Panglima Sudirman sekarang.

Dan sisi Barat hingga bagian belakang Masjid Agung (Jami’) Sumenep sekarang. Menurut cerita, sebelum dibangun Masjid Jami’, sudah ada masjid yang dibangun oleh raja Pangeran Anggadipa (1626-1644 M). Letaknya di sebelah Utara keraton. Namanya Masjid Laju, laju dalam bahasa Indonesia berarti Lama.

Masjid Jami’ sebelumnya merupakan masjid keraton yang eksklusif untuk raja dan kalangan kerajaan. Tepat di depan masjid terdapat Alun-alun keraton. Sekarang sudah di-redesign menjadi Taman Bunga Kota Sumenep. Sementara batas Selatan hingga di belakang museum. Pagar keraton yang ada sekarang adalah peninggalan masa R. Tumenggung Aria Prabuwinata. Sebelum diganti dengan bilah besi yang berujung mata tombak itu, pagar keraton berupa tembok tebal setinggi lebih dari dua meter.

Hal ini terbukti dari sisa pagar yang hingga kini masih ada di belakang keraton, tepat di depan rumah dinas Bupati sekarang. Sisa pagar itu kini dijaga sebagai Monumen bukti sejarah Keraton Sumenep. Bangunan yang dipakai kantor Dinas pariwisata dan Kebudayaan itu sebenarnya bukan bagian dari keraton, dulu dikenal dengan sebutan Gedong Negeri, walau ada di lingkungan Keraton Sumenep. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan sekitar tahun 1931, pada jaman pendudukan Belanda di tanah air.

Kehadiran gedung tepat di depan keraton itu memang mengganggu kharisma keraton secara keseluruhan. Pandangan kearah Keraton Sumenep menjadi terhalang.

Taman Sare dan Labang Mesem

Saat ini di sekitar keraton terdapat tiga bangunan yang difungsikan sebagai museum. Satu di depan keraton atau yang berseberangan dengan kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sumenep. Bangunan museum yang berdiri di bagian selatan keraton itu, sebelumnya merupakan garasi kereta kencana kerajaan. Sekarang menjadi tempat koleksi kereta kencana dan beberapa benda bersejarah lain seperti kursi pertemuan, tempat tidur raja, kursi pengadilan pada jaman raja, serta beberapa foto raja. Kereta kencana yang dipajang di sana kabarnya merupakan hadiah dari kerajaan Inggris, sebagai balas jasa. Konon bantuan yang diberikan raja Sultan Abdurrahman adalah mengalihbahasakan sebuah prasasti dengan tulisan Sansekerta kuno, yang ditemukan pada masa Raffles.

“Kereta kencana itu bernama My Lord, namun karena lidah orang Madura saat itu kurang bisa melafalkan. Maka, kereta raja itu kemudian lebih dikenal dengan nama Melor,” urai Moh. Romli, sumber yang dijumpai Eartjava Traveler. Satu lagi di sisi Barat keraton, dulu bekas kantor Raja atau yang biasa disebut dengan Kantor Koneng. Dahulu bangunan ini dipakai oleh raja dan para bawahannya melakukan pertemuan.

Belanda kemudian menduga gedung itu sebagai pusat rencana gerakan perlawanan. Belanda menganggap Sumenep, kala itu, tidak tepat memiliki kantor raja karena statusnya hanya Kadipaten. Namun raja Sumenep tidak kalah akal, beliau menolak sebutan kantor raja. Sang Adipati berkelit, bahwa itu adalah Kantor Koneng (koneng dalam bahasa Madura berarti Kuning), karena seluruh temboknya diwarnai kuning. Museum yang satu lagi di sebelah Utara kantor koneng ini, bangunan berbentuk rumah tinggal. Konon rumah ini dipakai raja untuk menyepi, karenanya rumah itu disebut dengan Romah Panyepen. Tepat di depan sisi kiri museum selatan terdapat bangunan kecil, semacam pos penjaga.

Orang-orang dulu menyebutnya Loji. Memang benar, bangunan kecil ini merupakan pos penjaga keraton, karena itu dilengkapi dengan lonceng. Loji juga ada di sebelah Timur keraton, tak jauh dari pintu masuk ke Taman Sare. Dulu, bila raja kedatangan tamu, penjaga di loji depan akan memberi isyarat dengan membunyikan lonceng. Bila pihak kerajaan sudah siap menerima, maka penjaga di loji dalam akan ganti membunyikan lonceng dengan isyarat tertentu.

Di sebelah Timur lingkungan keraton terdapat kolam pemandian yang dikenal dengan nama Taman Sare. Nama Taman Sare berasal dari kata dalam bahasa Madura, taman dalam Bahasa Indonesia berarti kolam, dan sare/asreh yang berarti asri, indah atau menyenangkan. Menurut cerita beberapa orang, air di Taman Sare ini juga mempunyai khasiat menjadikan orang awet muda.

Labang Mesem

Labang Mesem merupakan sebutan untuk gerbang keraton yang letaknya tidak jauh dari Taman Sare. Dalam Bahasa Indonesia, Labang berarti pintu, dan Mesem berarti senyum. Dari sekian versi tentang asal usul nama Labang Mesem, akhirnya disimpulkan, bahwa nama Labang Mesem merupakan symbol. Perlambang atas sikap keramah-tamahan dan penuh senyum dari para raja dan seluruh orang keraton dalam menerima tamu. Setidaknya ada tiga versi yang melatari pemberian nama Labang Mesem. Pertama, pada jaman dahulu pintu gerbang menuju keraton itu dijaga oleh dua orang cebol. Hal ini bisa dilihat dari dua ruangan dengan pintu rendah di kanan dan kiri gerbang itu.

Menguatkan bukti itu, di makam Asta Tinggi terdapat kuburan-kuburan cebol. Karena yang menjaga orang dengan bentuk kecil, maka tak heran bila sering menghadirkan senyum orang-orang yang melintas di gerbang tersebut. Versi kedua menyebutkan, ruang terbuka yang berada di atas pintu gerbang tersebut merupakan tempat raja untuk mengawasi sekitar keraton. Juga mengawasi putri-putri dan para istrinya yang sedang mandi di Taman Sare.

Konon ketika sedang memperhatikan putri dan atau istrinya yang sedang mandi itu, raja tampak mesam-mesem. Sebab itulah kemudian gerbang itu disebut Labang Mesem. Sedang versi yang lain, menyebutkan suatu ketika Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali.

Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan. Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa.

Merubah api dendam menjadi air persaudaraan. Masih banyak kekayaan sejarah yang bisa dinikmati di keraton ini. Tak cukup tulisan dan foto untuk mengungkap semuanya. Cara paling tepat untuk memuaskan penasaran hati, hanya dengan datang dan menikmati setiap keping mozaik warisan sejarah negeri ini dengan mata kepala sendiri.

Bagaimana Mencapai Keraton

Sangat mudah mencapai Keraton Sumenep, karena letaknya sekitar 200 meter arah Timur dari Taman Bunga di pusat kota Sumenep. Demikian halnya untuk sampai ke pusat kota kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Bila berangkat dari Surabaya, pusat propinsi Jatim, dengan kendaraan pribadi butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan.Nama Sumenep, salah satu versinya berasal dari kata Songenep. Dalam bahasa Madura, Songenep merupakan gabungan dari kata Lesso dan Nginep. Dalam Bahasa Indonesia, Lesso berarti capek atau lelah, dan nginep berarti bermalam. Jadi, setelah kita melakukan perjalanan menuju kita ini dianjurkan bermalam. Setidaknya demikian agar keesokan harinya Anda bisa menikmati kekayaan dan keindahan potensi wisata di daerah ini dengan lebih leluasa. Obyek-obyek seperti Pantai Slopeng, Pantai Lombang, makam raja Asta Tinggi, dan yang lainnya bisa menjadi jujukan wisata Anda.


Pemilihan Kacong Cebbing

SUMENEP - Agenda acara tahunan pemilihan kacong cebbing yang merupakan kegiatan tahunan untuk memilih salah satu putra putri Sumenep untuk menjadi duta budaya Sumenep. Namun, kegiatan yang dilaksanakan oleh Disparka (Dinas Parawisata Kabupaten) Sumenep ternyata dinilai oleh beberapa kalangan seniman dan budayawan asal-asalan. Seperti acara kacong cebbing tahun lalu yang juga dilakukan oleh Disparka itu adanya kesalahan baik dari segi penjurian maupun mikanisme pelaksanaan acara tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Roni Sanca pendiri Sweet Model Sumenep yang mengatakan bahwa acara tersebut banyak sekali beberapa kesalahan seperti yang dilakukan pada tahun lalu dan juga tentang adanya dana yang dirasakan terlalu besar. "Seperti masalah dana untuk kegiatan itu saya mendengar dananya sebesar Rp 15 juta, saya kira itu sangat besar sekali untuk sebuah kegiatan kacong cebbing," jelasnya.

Dan mengenai tentang penjurian, dia menilai bahwa penilain itu tidak akan adil dan akan berlaku seperti tahun-tahun seberlumnya. Untuk itu dia mengharapkan juri yang menilai pelaksanaan tersebut adalah juri dari luar daerah yang lebih objektif dalam penilaian. "Jangan juri lokal yang tidak punya integritas dalam penjurian. Seperti penjurian tahun lalu banyakl intervensi dari luar sehingga tidak adil dalam keputusannya. Dan dalam perekrutan panitian diharapkan untuk merekrtut orang-orang benar-benar tahu betul terhadap kegiatan kacong sebbing ini," ungkapnya.

Lebih lanjut dia membeberkan salah satu mikanisme yang tidak benar dalam penjurian. "Dalam tehnikal meeteng yang diuji wawasan peserta, ada kejanggalan ketidak transparan, seharusnya tes wawasan itu diuji di depan penonton dan jaraknya jangan terlalu jauh dengan acara inti. Kalau tes wawasan ini diadakan jauh sebelum acara inti kami khawatir ada manipulasi penilaian, bagaimana tidak hasil tes tersebut diendapkan selama satu minggu " lanjutnya.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Didik Rafiek anggota IKC (ikatan kacong cebbing) Sumenep bahwa pemilihan kacong cebbing Sumenep dalam lima tahun terakhir terkesan menghambur hamburkan anggaran. "Sebab, kacong cebbing yang terpilih tidak pernah dimamfaatkan untuk mempromosikan potensi wisata Sumenep termasuk pada seremonial kunjungan maupun kedatangan tamu. Dan juga besarnya dana yang akan dialokasikan sebesar Rp 15 juta itu terlalu besar, tidak seharusnya demikian. Saya kira dengan dana sebesar Rp 5 juta sudah mencukupi," tegasnya.

Dia juga menilai, nampaknya disparka tidak lebih baik dari Baparda (badan parawisaata daerah) Sumenep terutama dalam pemilihan kacong cebbing yang tidak mengaspirasikan dan mengembangkan potensi generasi muda.

Sementara itu, Kadisparka Sumenep Ach. Muhjiddin saat didatangi Radar Madura tidak ada ditempat karena sedang sakit dan sedangkan yang dapat ditemui hanya seksi pemasaran dan penyuluhan Hasin Effendi. Namun pihaknya tidak bisa menjelaskan secara detil berapa keuangan yang dialokasikan terhadap acara tersebut. Dan mengenai adanya penilaian juri yang dinilai subjektif dia menjelaskan bahwa, pihaknya akan berusaha untuk melakukan secara objektif baik dari segi penilain maupun dari pelaksanaan. "Kami akan berusaha untuk mendatangkan juri dari luar daerah," paparnya. Informasi yang di terima Radar Madura dari Disparka bahwa peserta yang ikut dalam pelaksanaan itu hanya 15 orang yang terdaftar , sedangkan yang hadir dalam tehnikal meeting hanya 13 orang. Dan rata-rata pesertanya adalah siswa SMU se Sumenep

Asta Tinggi dan Keraton Sumenep

Asta Tinggi merupakan kompleks makam para raja Sumenep, keturunan dan kerabatnya. Dibangun sekitar tahun 1750. Kompleks ini terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai gerbang tersendiri. Bagian pertama di sisi kiri terdiri dari kubah Bindoro Saud, kubah Pangeran Jimad dan kubah P. Pulang Jiwo. Bagian ini berisi makam yang lebih tua, sehingga kita disyaratkan untuk memasuki kompleks ini terlebih dahulu. Bagian kedua berada di tengah dan mempunyai bentuk yang paling indah. Di sini terdapat dua kubah makam yaitu kubah Sri Sultan A. Rahman & kubah Panembahan Sumolo. Sedangkan bagian ketiga merupakan bagian terlarang, dalam artian kita tidak diperkenankan memasukinya. Jangankan memasuki, baru selangkah menginjakkan kaki ke jalurnya saja sudah disemprit ;)
Selain di dalam kubah, makam juga tersebar di seantero kompleks dengan usia yang beragam, bahkan ada yang berusia cukup muda (tahun 90an). Makam yang ada di dalam kubah sebagian ditutupi kain dan kelambu. Menurut juru kunci kelambu tersebut diberikan oleh orang-orang yang hajatnya telah terkabul selepas berdoa di makam ini.
Untuk memasuki makam, kita harus melapor dulu ke juru kunci dengan memberikan sumbangan seikhlasnya. Sebelum memasuki gerbang makam kita harus melepas alas kaki dan berjalan di jalan berlantai yang sudah disediakan.
Keraton Sumenep atau biasa disebut keraton Panembahan Sumolo didirikan tahun 1762. mempunyai tiga bangunan utama berupa bangunan induk kraton, Taman sare dan Labang Mesem. Selain itu di depan kraton juga terdapat museum disamping musium yang ada di samping kiri bangunan induk keraton. Pada bangunan induk keraton kiyta jumpai aula pertemuan dengan kursi-kursi merah berukir, koridor dan tempat kediaman raja. Uniknya di tempat ini banyak sekali lampu gantung dan lampu dinding. sayang kita tidak diperkenankan memasuki kediaman raja. Hanya boleh mengintip dari jendela kaca yang pecah (atau sengaja dipecah kali).






Kubah Panembahan Semolo




Gerbang makam II




makam berkelambu




Selamat datang




Pot batu




Gerbang makam I




Di balik pintu




Bangunan induk keraton




Labang Mesem




Jajaran pilar




Kamar istri raja




Lambang kerajaan di atas atap
1 Comment




Koridor penuh lampu




Malaikat tersenyum di gerbang senyum




Taman Sare




Seperti irisan bolu gulung




Pintu bernuansa merah




Tugu




Lampu gantung.




Kereta raja.